Jakarta - Sebagian warga Jakarta hari ini masih mempergunjingkan nasib mereka didera banjir dan macet sepulang kantor semalam. Wajar, sebab genangan dan macet parah 25 Oktober adalah yang terparah dalam kurun waktu 3 tahun terakhir.
"Semalam itu jalanan di Jakarta rata-rata ada genangan sekitar 50 cm. Apa yang terjadi pada 25 Oktober itu, setelah tahun 2007, adalah kemacetan dan genangan yang terparah," kata Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) DKI Jakarta Ubaidillah dalam perbincangan dengan detikcom, Selasa (26/10/2010).
Menurut dia, sistem penanganan macet dan genangan di Jakarta sudah sangat amburadul. Ubai melihat tidak ada keinginan kuat dari Gubernur dan jajaran di bawahnya.
"Kalau terus begitu, itu (macet dan genangan) akan selau terjadi dan terjadi. Baik itu skala kecil, sedang, maupun besar, tergantung curah hujan dan kiriman dari selatan. Ancaman itu akan datang," tutur Ubai.
Menurut Ubai, Jakarta tidak mampu lagi menahan beban daya tampung yang demikian besar. Namun dia pribadi tidak sepakat dengan wacana pemindahan Ibukota. Karena masalahnya bukanlah ibukotanya, namun penanganan ibukotanya.
"Industrialisasi ini yang harus ditata barat dan timur sehingga tidak menumpuk di satu titik. Juga soal urbanisasinya," lanjut dia.
Semalam, Ubai dan sejumlah aktivis lingkungan dari Walhi Jakarta juga menjadi korban kemacetan dan genangan air. Di hari biasa, Ubai hanya butuh waktu satu jam dari kantornya di daerah Kalibata, Jakarta Selatan, menuju rumahnya di Kota. Tapi semalam, dia harus menghabiskan waktu sekitar 2 jam.
"Itu saya pakai sepeda motor. Meski jadi korban, kami juga sambil sengaja melihat-lihat, memantau. Rata-rata memang parah, Sudirman juga parah. Akhirnya kita sampai pada kesimpulan kalau semalam itu yang terparah dalam 3 tahun terakhir," sambungnya.
Penyempitan kali yang disebabkan bangunan di bantaran kali juga memberi kontribusi penyebab banjir di Jakarta. Karena seharusnya daerah sekitar kali sekitar 20-50 meter harus bebas dari bangunan.
"Sekarang ini di dekat kali bukan hanya pemukiman, tapi juga ruko dan bangunan permanen seperti di Glodok itu. Kalau untuk mengakomodir kepentingan pemodal selalu kalah. Tapi kalau dalam menindak rakyat kecil cepat menggusurnya," kritik Ubai.
"Semalam itu jalanan di Jakarta rata-rata ada genangan sekitar 50 cm. Apa yang terjadi pada 25 Oktober itu, setelah tahun 2007, adalah kemacetan dan genangan yang terparah," kata Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) DKI Jakarta Ubaidillah dalam perbincangan dengan detikcom, Selasa (26/10/2010).
Menurut dia, sistem penanganan macet dan genangan di Jakarta sudah sangat amburadul. Ubai melihat tidak ada keinginan kuat dari Gubernur dan jajaran di bawahnya.
"Kalau terus begitu, itu (macet dan genangan) akan selau terjadi dan terjadi. Baik itu skala kecil, sedang, maupun besar, tergantung curah hujan dan kiriman dari selatan. Ancaman itu akan datang," tutur Ubai.
Menurut Ubai, Jakarta tidak mampu lagi menahan beban daya tampung yang demikian besar. Namun dia pribadi tidak sepakat dengan wacana pemindahan Ibukota. Karena masalahnya bukanlah ibukotanya, namun penanganan ibukotanya.
"Industrialisasi ini yang harus ditata barat dan timur sehingga tidak menumpuk di satu titik. Juga soal urbanisasinya," lanjut dia.
Semalam, Ubai dan sejumlah aktivis lingkungan dari Walhi Jakarta juga menjadi korban kemacetan dan genangan air. Di hari biasa, Ubai hanya butuh waktu satu jam dari kantornya di daerah Kalibata, Jakarta Selatan, menuju rumahnya di Kota. Tapi semalam, dia harus menghabiskan waktu sekitar 2 jam.
"Itu saya pakai sepeda motor. Meski jadi korban, kami juga sambil sengaja melihat-lihat, memantau. Rata-rata memang parah, Sudirman juga parah. Akhirnya kita sampai pada kesimpulan kalau semalam itu yang terparah dalam 3 tahun terakhir," sambungnya.
Penyempitan kali yang disebabkan bangunan di bantaran kali juga memberi kontribusi penyebab banjir di Jakarta. Karena seharusnya daerah sekitar kali sekitar 20-50 meter harus bebas dari bangunan.
"Sekarang ini di dekat kali bukan hanya pemukiman, tapi juga ruko dan bangunan permanen seperti di Glodok itu. Kalau untuk mengakomodir kepentingan pemodal selalu kalah. Tapi kalau dalam menindak rakyat kecil cepat menggusurnya," kritik Ubai.
Cerita 'Horor' Tentang Jakarta yang Porak Poranda Semalam
Jakarta - Hujan lebat selama 2-4 jam yang memporakporandakan Jakarta semalam menjadi horor tersendiri bagi sebagian warga Ibukota. Bagi beberapa orang, pengalaman ini bahkan menjadi pengalaman yang tak terlupakan.
Ulama Aa Gym, saat berceramah di radio pada pukul 05.00 pagi tadi, menceritakan, saat hendak mengisi ceramah di Masjid BI, Jl MH Thamrin, Jakpus, pada pukul 19.30 WIB semalam, dia membutuhkan waktu hingga 6 jam untuk mencapai masjid itu.
"Jamaah juga sedikit, karena banyak yang terjebak macet," kata Aa Gym, Selasa (26/10/2010).
Coky, seorang pegawai swasta, juga harus menghabiskan waktu 4 jam untuk sampai di rumahnya di Jatipadang, Jakarta Selatan. Ia berangkat dari Matraman, Jakarta Timur, pukul 21.00 WIB dan tiba pukul 01.00 WIB.
"Saya naik taksi dari Matraman, dan tak bergerak saat ingin melewati Pancoran, tepatnya di depan Universitas Sahid. Para penumpang juga pada turun dari kendaraannya," kata Coky.
Bingung mau menumpang apa, Coky akhirnya memilih jalan kaki sampai pertigaan Kalibata, 1 km lebih dari Universitas Sahid.
"Karena melihat Jl Raya Pasar Minggu sudah mendingan, dari situ saya naik Metro Mini sampai Pasar Minggu, lalu naik ojek sampai rumah," kata Coky. Ini merupakan pengalaman terpahitnya selama tinggal di Jakarta.
Pengalaman 'lembur' di jalan juga dialami oleh Haris, yang tiba di rumahnya di kawasan Jatinegara, Jakarta Timur, pada pukul 01.00 WIB. Dari kantornya di Pasar Minggu, ia harus menghabiskan waktu sampai 4 jam.
"Saya naik Metro Mini M-75 dari Pasar Minggu. Karena di Buncit dekat kantor Imigrasi banjir, Metro Mini akhirnya masuk ke Jalan Siaga Raya," kata Haris.
Namun jalan alternatif yang menembus Pancoran itu tetap macet. "Nggak bergerak. Akhirnya Metro Mini muter balik lagi sebelum TMP Kalibata dan akhirnya masuk terminal Pasar Minggu lagi," kisahnya.
Haris baru bisa pulang ke rumahnya, saat Jl Buncit Raya sudah mencair dan Metro Mini yang ia tumpangi melalui jalur yang benar. "Saya akhirnya sampai rumah pukul 01.00 WIB," kata dia.
Indra, juga seorang karyawan swasta, harus menghabiskan waktu 3 jam untuk sampai rumahnya di kawasan Margonda, Depok, dari Lenteng Agung, Jakarta Selatan. "Sepanjang jalan banyak genangan," kata Indra.
Akibat Jakarta yang porak poranda semalam, kecaman pun dilancarkan kepada Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo, baik oleh penumpang di jalan maupun lewat social media, seperti twitter.
"Time line semalam dipenuhi kecaman kepada Foke, bahkan makian," katanya.
Hari ini hujan mengancam Jakarta lagi seperti semalam. Kekhawatiran akan terjebak macet dan genangan berjam-jam membuat warga agak malas beraktivitas di luar kantor. "Duh kok jadi trauma begini ya kalo mau pulang kantor," tulis pembaca detikcom ber-ID Deje. Bagaimana pengalaman 'horor' Anda semalam?
Ulama Aa Gym, saat berceramah di radio pada pukul 05.00 pagi tadi, menceritakan, saat hendak mengisi ceramah di Masjid BI, Jl MH Thamrin, Jakpus, pada pukul 19.30 WIB semalam, dia membutuhkan waktu hingga 6 jam untuk mencapai masjid itu.
"Jamaah juga sedikit, karena banyak yang terjebak macet," kata Aa Gym, Selasa (26/10/2010).
Coky, seorang pegawai swasta, juga harus menghabiskan waktu 4 jam untuk sampai di rumahnya di Jatipadang, Jakarta Selatan. Ia berangkat dari Matraman, Jakarta Timur, pukul 21.00 WIB dan tiba pukul 01.00 WIB.
"Saya naik taksi dari Matraman, dan tak bergerak saat ingin melewati Pancoran, tepatnya di depan Universitas Sahid. Para penumpang juga pada turun dari kendaraannya," kata Coky.
Bingung mau menumpang apa, Coky akhirnya memilih jalan kaki sampai pertigaan Kalibata, 1 km lebih dari Universitas Sahid.
"Karena melihat Jl Raya Pasar Minggu sudah mendingan, dari situ saya naik Metro Mini sampai Pasar Minggu, lalu naik ojek sampai rumah," kata Coky. Ini merupakan pengalaman terpahitnya selama tinggal di Jakarta.
Pengalaman 'lembur' di jalan juga dialami oleh Haris, yang tiba di rumahnya di kawasan Jatinegara, Jakarta Timur, pada pukul 01.00 WIB. Dari kantornya di Pasar Minggu, ia harus menghabiskan waktu sampai 4 jam.
"Saya naik Metro Mini M-75 dari Pasar Minggu. Karena di Buncit dekat kantor Imigrasi banjir, Metro Mini akhirnya masuk ke Jalan Siaga Raya," kata Haris.
Namun jalan alternatif yang menembus Pancoran itu tetap macet. "Nggak bergerak. Akhirnya Metro Mini muter balik lagi sebelum TMP Kalibata dan akhirnya masuk terminal Pasar Minggu lagi," kisahnya.
Haris baru bisa pulang ke rumahnya, saat Jl Buncit Raya sudah mencair dan Metro Mini yang ia tumpangi melalui jalur yang benar. "Saya akhirnya sampai rumah pukul 01.00 WIB," kata dia.
Indra, juga seorang karyawan swasta, harus menghabiskan waktu 3 jam untuk sampai rumahnya di kawasan Margonda, Depok, dari Lenteng Agung, Jakarta Selatan. "Sepanjang jalan banyak genangan," kata Indra.
Akibat Jakarta yang porak poranda semalam, kecaman pun dilancarkan kepada Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo, baik oleh penumpang di jalan maupun lewat social media, seperti twitter.
"Time line semalam dipenuhi kecaman kepada Foke, bahkan makian," katanya.
Hari ini hujan mengancam Jakarta lagi seperti semalam. Kekhawatiran akan terjebak macet dan genangan berjam-jam membuat warga agak malas beraktivitas di luar kantor. "Duh kok jadi trauma begini ya kalo mau pulang kantor," tulis pembaca detikcom ber-ID Deje. Bagaimana pengalaman 'horor' Anda semalam?
Foke Ahli Akademis, Bukan Ahli Kebijakan
Jakarta - Meski sudah dipimpin oleh 'ahlinya', macet dan banjir masih terus menemani warga Jakarta. Terlebih lagi jika hujan deras turun. Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo dinilai hanya ahli dalam hal akademis, tapi bukan untuk kebijakan.
"Saya pikir, beliau memang ahli dalam akademis, karena gelar S3 dari Jerman soal tata ruang, tapi untuk kebijakan, saya kira tidak," kata anggota YLKI bidang Transportasi Tulus Abadi saat berbincang dengan detikcom, Selasa (26/10/2010).
Pendidikan Foke memang tidak jauh-jauh dari bidang perencanaan. Foke meraih gelar Sarjana Arsitektur bidang Perencanaan Kota dan Wilayah di Technische Universitat Brunschweig, Jerman. Di Universitat Kaiserlautern, Foke juga meraih gelar doktor bidang pola tata ruang kota Jakarta.
"Beliau katakan ahlinya, tapi belum ada perubahan hingga saat ini, itu namanya ingkar janji, tidak bisa memenuhi," tegasnya.
Tulus menilai, permasalahan Jakarta justru ada di bidang yang dikuasai oleh Foke, tata ruang. Dan itu butuh dukungan luar biasa juga dari pemerintah pusat.
Menurut Tulus, Jakarta butuh seorang pemimpin yang 'gila' dalam mengatasi persoalan pelik. Orang tersebut, harus berani mengeluarkan kebijakan-kebijakan tidak populis.
"Orang itu harus berani melawan arus untuk mengatasi masalah perilaku warga Jakarta yang memang masih primitif juga," tandasnya.
source: detiknews.com
"Saya pikir, beliau memang ahli dalam akademis, karena gelar S3 dari Jerman soal tata ruang, tapi untuk kebijakan, saya kira tidak," kata anggota YLKI bidang Transportasi Tulus Abadi saat berbincang dengan detikcom, Selasa (26/10/2010).
Pendidikan Foke memang tidak jauh-jauh dari bidang perencanaan. Foke meraih gelar Sarjana Arsitektur bidang Perencanaan Kota dan Wilayah di Technische Universitat Brunschweig, Jerman. Di Universitat Kaiserlautern, Foke juga meraih gelar doktor bidang pola tata ruang kota Jakarta.
"Beliau katakan ahlinya, tapi belum ada perubahan hingga saat ini, itu namanya ingkar janji, tidak bisa memenuhi," tegasnya.
Tulus menilai, permasalahan Jakarta justru ada di bidang yang dikuasai oleh Foke, tata ruang. Dan itu butuh dukungan luar biasa juga dari pemerintah pusat.
Menurut Tulus, Jakarta butuh seorang pemimpin yang 'gila' dalam mengatasi persoalan pelik. Orang tersebut, harus berani mengeluarkan kebijakan-kebijakan tidak populis.
"Orang itu harus berani melawan arus untuk mengatasi masalah perilaku warga Jakarta yang memang masih primitif juga," tandasnya.
source: detiknews.com
No comments:
Post a Comment