Indonesia memasuki era Orde Baru yang lebih berfokus pada pembangunan. Belajar dari era sebelumnya yang kemudian dinamai Orde Lama, yang sangat disibukkan dengan urusan politik, Orde Baru bangkit dengan semangat dan kekuatan baru lebih mementingkan berkarya membangun bangsa daripada asyik berpolitik.
Setelah MPRS mengangkatnya jadi presiden (1967), Pak Harto segera menghimpun para ahli dari berbagai bidang serta
memerintahkan Bappenas untuk menyusun Garis-Garis Besar Haluan Negara yang menjadi landasan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Repelita itu kemudian dijabarkan setiap tahun dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (ABPN). Pak Harto menggerakkan pembangunan dengan strategi Trilogi Pembangunan yakni stabilitas, pertumbuhan dan pemerataan. (Selengkapnya baca: Trilogi Pembangunan)
Pada awal pemerintahan Orde Baru, program utamanya adalah pemulihan ekonomi, mengatasi inflasi yang mencapai 650% dan utang luar negeri, 2,5 miliar dolar. Sejarah pertumbuhan ekonomi di awal era Orde Baru, sangat spektakuler. Pemerintah Orde Baru, kala itu berhasil menyelamatkan bangsa ini dari gelombang kehancuran.
Menurut Emil Salim, laju inflasi menjelang peristiwa G-30-S/PKI, bisa dibilang edan. Indeks biaya hidup tahun 1960 sampai tahun 1966, naik 438 kali! Harga beras mengganas naik 824 kali! Begitu pula harga tekstil naik 717 kali! Sementara nilai rupiah sekarat dari Rp.160 saja menjadi Rp.120 ribu per satu dolar AS!
Angka-angka itu cukup menjadi bukti ilustratif betapa malapetaka yang menghantam bangsa Indonesia saat itu demikian dahsyat. Ditambah lagi tragedi pergulatan politik nasional yang berpuncak pada Gerakan 30 September/PKI, yang membuat bangsa ini dalam kondisi chaos.
Dalam kondisi sangat kacau dan buruk itu, Pak Harto dengan segenap jajaran Orde Baru, menggalang kekuatan. Diawali tindakan politis membubarkan PKI. Kala itu, tuntutan hebat untuk membubarkan PKI kurang digubris Bung Karno. Hal ini memaksa Proklamator RI itu harus lengser dari Istana Kepresidenan. Jenderal Soeharto, yang segera membubarkan PKI setelah menerima Surat Perintah 11 Maret 1966, yang lebih dikenal dengan Supersemar, dipilih MPRS menggantikannya. Dia pun sukses menumpas PKI atas dukungan militer, mahasiswa dan berbagai elemen bangsa.
Keberhasilan membubarkan PKI itu, membuat pemerintahan Orde Baru mampu memadukan semua komponen masyarakat dalam mengatasi persoalan bangsa. Dia memotivasi para ekonom menyumbangkan konsep alternatif untuk memulihkan perekonomian nasional.
Di antaranya, yang sangat spektakuler adalah kebijaksanaan sanering rupiah dari seribu rupiah menjadi satu rupiah, tanpa mengusahakan rencana pengendalian defisit anggaran. Kebijakan ini, meski dinilai terlalu berani, ternyata sangat efektif menerapkan tujuan ganda, yakni: memulihkan ekonomi sekaligus mengurangi kontrol kelompok PKI yang menggondol kantung-kantung rupiah.
Selain itu, dilakukan kebijakan menaikkan harga bensin dan tarif angkutan umum, serta menaikkan gaji pegawai negeri. Kemudian, secara konsepsional dirumuskan landasan komprehensif kebijakan ekonomi baru, baik mengenai pembaharuan kebijakan landasan ekonomi, keuangan, dan pembangunan. Ketetapan ini memberi untuk melakukan upaya-upaya pemulihan ekonomi nasional.
Menurut Emil Salim, pada kuliah program sejarah lisan Indonesia (1965- 1971) di CSIS (Centre for Strategic and International Studies), Jakarta, Agustus 1999, ada lima kebijakan yang dianggap manjur dalam upaya pemulihan ekonomi kala itu. Pertama, pengendalian inflasi melalui kebijakan anggaran berimbang, dan kebijakan moneter ketat.
Kedua, pencukupan kebutuhan pangan. Ketiga, pencukupan kebutuhan sandang. Keempat, rehabilitasi berbagai sarana dan prasarana ekonomi. Kelima, peningkatan ekspor dengan mengembalikan share sepenuhnya pada eksportir.
Selain itu, juga digulirkan kebijakan jitu lainnya saat itu yakni deregulasi dan debirokratisasi (Paket 10 Februari dan 28 Juli 1967, dan seterusnya). Kemudian, pemerintah juga membuka kran penanaman modal asing, secara bertahap.
Kebijakan-kebijakan itu sangat berhasil menjinakkan liarnya laju inflasi. Turun drastis dari kisaran angka 650 persen (tahun 1966) menjadi 100 persen (1967), dan 50 persen (1968). Bahkan sudah terkendali di angka 13 persen (1969).
Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan membuka lapangan kerja, pemerintahan Pak Harto mengundang penanaman modal asing. Pemerintahan Pak Harto memusatkan diri pada pembangunan ekonomi, tanpa mengabaikan bidang-bidang lain, misalnya politik dan sosial. Selama 32 tahun memerintah, Pak Harto secara teratur dan konsisten melaksanakan Pelita demi Pelita. Pertumbuhan ekonomi bergerak dengan cepat rata-rata 6,8 persen per tahun. (Selengkapnya baca: Pak Harto Membangun Indonesia).
Selain itu, selama pemerintahan Pak Harto, Pemilu juga dilaksanakan setiap lima tahun. Pemilu pertama tahun 1971 dan terakhir 1987. Sayang, dia pun kemudian dikhianati para pembantu dekatnya. Didorong untuk tetap maju sebagai calon presiden tunggal pada Sidang Umum MPR Maret 1988, kemudian ditinggal bahkan dihujat. Pak Harto yang selama 32 tahun dipuja-puji, kemudian dihujat sebagai penguasa otoriter dan korup.
Padahal jika disimak, Pak Harto yang kala itu masih didukung militer dan beberapa komponen bangsa, jika dia otoriter bisa saja melakukan tindakan untuk mempertahankan kekuasaannya. Tetapi, dia memilih mengundurkan diri secara sukarela (21 Mei 1998). Dia tidak diberhentikan paksa oleh MPR, tetapi mengundurkan diri secara sukarela.
source: http://yangcocok.blogspot.com/2010/09/kebohongan-besar-tentang-soeharto.html
No comments:
Post a Comment