Ikan ini pernah membuat heboh masyarakat Wajo. Maklum, kemunculannya tiba-tiba dalam jumlah yang sangat banyak. Dari mana asalnya dan bagaimana cita rasanya?
Bentuk badannya bulat panjang. Agak pipih. Moncongnya bundar dan tumpul dengan bibir menjumbai. Warna sisiknya cokelat bercampur hijau kehitam-hitaman. Ada juga yang agak kuning kehitam-hitaman.
Jenis ikan ini langka. Di Sulsel, hanya dijumpai di Danau Tempe, Kabupaten Wajo. Masyarakat sekitar Danau Tempe menyebutnya ikan doyok. Ada juga yang menyebutnya ikan turis.
Ikan ini mulai menggegerkan masyarakat Wajo pada awal-awal banjir tahun 1990-an. Saat itu, ikan ini muncul dengan populasi yang sangat banyak di hampir semua rumah yang terendam banjir. Sejak itu, ikan doyok kerap muncul di awal musim banjir. Tepatnya saat air pertama kali keruh.
Kepala Bidang Bina Usaha dan Kelembagaan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wajo, Andi Syamsul Bahri menuturkan, dalam ilmu perikanan, jenis ikan ini disebut ikan nilem. Dalam bahasa latin dikenal dengan istilah osteochillus hasselli, dan dalam bahasa Inggris nilem carp. Di Indonesia, selain di Wajo, jenis ikan ini hanya ditemukan di Kalimantan.
"Dulu ada orang yang bawa benihnya dari Kalimantan dan menaburnya di Danau Tempe. Makanya ada yang menyebut ikan ini sebagai ikan turis karena bukan ikan asli Danau Tempe," ungkap Andi Syamsul. "Tidak ada yang tahu kapan persisnya ikan jenis ini pertama kali dikembangbiakkan di sini (Wajo, red)," imbuhnya.
Menurut Andi Syamsul, ikan doyok biasanya melakukan perkawinan saat Danau Tempe mengering di mana luas permukaannya tersisa kurang lebih 1000 hektare. Selanjutnya, saat permukaan danau mencapai 10.000 hektare, ikan ini menyemburkan telurnya, dan menetas saat permukaan danau mencapai luas 35.000 hektare.
"Perkembangan ikan ini sangat pesat. Induknya bisa menghasilkan telur hingga separuh dari volume badannya. Proses menetas dan pertumbuhannya juga sangat singkat, yaitu saat air keruh dan suhunya dingin," ungkap Andi Syamsul.
Bagaimana dengan kandungan proteinnya? Menurut Andi Syamsul, jenis ikan doyok ini dikenal memiliki kandungan protein yang sangat rendah. Selain itu, rasanya agak pahit. Makanya, kata dia, meski jumlahnya berlimpah, warga setempat kurang suka mengonsumsinya.
"Warga di sini lebih senang mengeringkannya untuk dijual ke luar daerah. Selain karena rasanya yang pahit, juga cepat membusuk. Harga jualnya juga sangat murah," ucapnya.
Informasi yang penulis himpun menyebutkan, daerah pemasaran ikan doyok ini antara lain Kendari, Enrekang dan Toraja untuk lingkup Sulsel. Selebihnya dijual antar-pulaukan ke Cirebon, Garut, dan Surabaya. "Umumnya dijadikan sebagai pakan ternak ayam," ungkap La Uttu, salah seorang pedagang ikan doyok kering di Sengkang.
Pengusaha spesialis ikan kering yang sudah puluhan tahun menekuni profesinya ini mengaku bisa memproduksi ikan doyok kering hingga dua ton dalam sepekan. "Per tonnya saya bisa dapat keuntungan hingga satu setengah juta," sebut La Uttu.
Menurut La Uttu, cara pengolahan ikan doyok sangat sederhana. Yaitu cukup sisik dan kotorannya dibersihkan lalu di belah dua. Setelah itu, digarami selama 24 jam baru kemudian dibilas dan dijemur. "Kadar garamnya tergantung kebutuhan. Kalau untuk dikonsumsi sendiri, ya tidak perlu terlalu banyak garamnya. Kecuali yang mau dijual ke luar daerah, harus lebih asin," ujar warga Kelurahan Laelo ini.
Untuk konsumsi rumah tangga, warga Laelo lainnya, A Samalangi menuturkan, ikan doyok sering dijadikan lawar. Cara pembuatannya sederhana saja, yakni ikan mentah dicampur kelapa goreng dan asam. Menu ini merupakan salah satu makanan khas masyarakat Wajo.
"Kalau orang kreatif mengolah, daging ikannya bisa dibuat nyuknyang. Telurnya juga bisa dijadikan sambal dan perkedel," ungkap Samalangi.
Bentuk badannya bulat panjang. Agak pipih. Moncongnya bundar dan tumpul dengan bibir menjumbai. Warna sisiknya cokelat bercampur hijau kehitam-hitaman. Ada juga yang agak kuning kehitam-hitaman.
Jenis ikan ini langka. Di Sulsel, hanya dijumpai di Danau Tempe, Kabupaten Wajo. Masyarakat sekitar Danau Tempe menyebutnya ikan doyok. Ada juga yang menyebutnya ikan turis.
Ikan ini mulai menggegerkan masyarakat Wajo pada awal-awal banjir tahun 1990-an. Saat itu, ikan ini muncul dengan populasi yang sangat banyak di hampir semua rumah yang terendam banjir. Sejak itu, ikan doyok kerap muncul di awal musim banjir. Tepatnya saat air pertama kali keruh.
Kepala Bidang Bina Usaha dan Kelembagaan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wajo, Andi Syamsul Bahri menuturkan, dalam ilmu perikanan, jenis ikan ini disebut ikan nilem. Dalam bahasa latin dikenal dengan istilah osteochillus hasselli, dan dalam bahasa Inggris nilem carp. Di Indonesia, selain di Wajo, jenis ikan ini hanya ditemukan di Kalimantan.
"Dulu ada orang yang bawa benihnya dari Kalimantan dan menaburnya di Danau Tempe. Makanya ada yang menyebut ikan ini sebagai ikan turis karena bukan ikan asli Danau Tempe," ungkap Andi Syamsul. "Tidak ada yang tahu kapan persisnya ikan jenis ini pertama kali dikembangbiakkan di sini (Wajo, red)," imbuhnya.
Menurut Andi Syamsul, ikan doyok biasanya melakukan perkawinan saat Danau Tempe mengering di mana luas permukaannya tersisa kurang lebih 1000 hektare. Selanjutnya, saat permukaan danau mencapai 10.000 hektare, ikan ini menyemburkan telurnya, dan menetas saat permukaan danau mencapai luas 35.000 hektare.
"Perkembangan ikan ini sangat pesat. Induknya bisa menghasilkan telur hingga separuh dari volume badannya. Proses menetas dan pertumbuhannya juga sangat singkat, yaitu saat air keruh dan suhunya dingin," ungkap Andi Syamsul.
Bagaimana dengan kandungan proteinnya? Menurut Andi Syamsul, jenis ikan doyok ini dikenal memiliki kandungan protein yang sangat rendah. Selain itu, rasanya agak pahit. Makanya, kata dia, meski jumlahnya berlimpah, warga setempat kurang suka mengonsumsinya.
"Warga di sini lebih senang mengeringkannya untuk dijual ke luar daerah. Selain karena rasanya yang pahit, juga cepat membusuk. Harga jualnya juga sangat murah," ucapnya.
Informasi yang penulis himpun menyebutkan, daerah pemasaran ikan doyok ini antara lain Kendari, Enrekang dan Toraja untuk lingkup Sulsel. Selebihnya dijual antar-pulaukan ke Cirebon, Garut, dan Surabaya. "Umumnya dijadikan sebagai pakan ternak ayam," ungkap La Uttu, salah seorang pedagang ikan doyok kering di Sengkang.
Pengusaha spesialis ikan kering yang sudah puluhan tahun menekuni profesinya ini mengaku bisa memproduksi ikan doyok kering hingga dua ton dalam sepekan. "Per tonnya saya bisa dapat keuntungan hingga satu setengah juta," sebut La Uttu.
Menurut La Uttu, cara pengolahan ikan doyok sangat sederhana. Yaitu cukup sisik dan kotorannya dibersihkan lalu di belah dua. Setelah itu, digarami selama 24 jam baru kemudian dibilas dan dijemur. "Kadar garamnya tergantung kebutuhan. Kalau untuk dikonsumsi sendiri, ya tidak perlu terlalu banyak garamnya. Kecuali yang mau dijual ke luar daerah, harus lebih asin," ujar warga Kelurahan Laelo ini.
Untuk konsumsi rumah tangga, warga Laelo lainnya, A Samalangi menuturkan, ikan doyok sering dijadikan lawar. Cara pembuatannya sederhana saja, yakni ikan mentah dicampur kelapa goreng dan asam. Menu ini merupakan salah satu makanan khas masyarakat Wajo.
"Kalau orang kreatif mengolah, daging ikannya bisa dibuat nyuknyang. Telurnya juga bisa dijadikan sambal dan perkedel," ungkap Samalangi.
No comments:
Post a Comment