Cantiknya fajar di Kepulauan Seribu.
Serangan Inggris tak tertahankan oleh Belanda. Setelah melalui serangkaian blokade ketat, Inggris melancarkan serangan mematikan. Sontak seluruh bangunan pertahanan Belanda luluh. Belanda tersungkur, hancur.
Ini bukan cerita sepakbola. Ini terjadi pada 8 November 1800 di Pulau Onrust, Jakarta (lihat Jejak Perang di Pulau Onrust). Di tengah kemelut perang Eropa, keduanya bertarung di pulau yang berada di Kepulauan Seribu ini. Dan saya yang melihat puing-puing bangunannya sedikit banyak dapat merasakan apa yang telah terjadi.
Setelah gagal dalam upaya memonopoli perdagangan di Banten, Persatuan Dagang Belanda di Hindia Timur atau Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) merasa Jakarta adalah lokasi strategis untuk usaha perdagangan. Pada 1610, melalui L. Hermit, Belanda menjelaskan kepada Pangeran Jayakarta bahwa kapal-kapalnya yang berlayar ke Asia, yang melakukan perjalanan panjang, sering memerlukan perbaikan kapal. Untuk itu Hermit menjalin kerjasama dengan Pangeran Jayakarta bahwa Belanda diperbolehkan mengambil kayu untuk keperluan tersebut. Dan Pulau Onrust, yang memiliki luas 12 hektar dan berjarak 14 kilometer dari Jakarta, adalah pulau yang dipilih untuk membuat sebuah galangan kapal di Teluk Jakarta.
Kesibukkan kapal dan seluruh aktivitasnya membuat pulau ini disebut Onrust yang berarti “tanpa istirahat”. Onrust juga memiliki similaritas bunyi dengan kata Inggris, yakni un-rest, yang juga memiliki makna serupa. Dan memang pulau ini begitu sibuk. Tidak saja sebagai tempat pembangunan dan perbaikan kapal, tetapi juga menjadi tempat bongkar muat kapal dagang orang-orang VOC yang berisi beras, gula, atau rempah-rempah. Kesibukan aktivitas kapal di Pulau Onrust membuat pulau ini disebut juga dengan Pulau Kapal.
Setelah itu, Jan Pieterszoon Coen, yang kelak menjadi Gubernur Jenderal (ada yang menyebut istilah yang benar adalah Duta VOC) periode 1618-1623, mengharapkan Onrust tidak saja menjadi sebuah galangan kapal dan koloni, tetapi juga menjadikannya sebagai pulau pertahanan. Ini dilakukan disaat ancaman dari Banten dan Inggris mulai meninggi.
Suasana saat memasuki Pulau Onrust.
Dan sejak 1615, pulau ini memang bertambah fungsi sebagai sebuah koloni dan basis pertahanan Belanda. Di sini saya masih bisa menemukan sisa-sisa sebuah benteng kecil yang dibuat pada 1656. Benteng ini merupakan pos pertahanan terdepan untuk melindungi Batavia.
Namun, persaingan Inggris dan Belanda membuat keduanya senantiasa dalam ketegangan. Setelah penyerangan Inggris yang menghancurkan bangunan yang dibuat Belanda di Pulau Onrust tadi, Belanda berhasil membangunnya kembali pada 1803.
Hanya saja, untuk kali kedua, tujuh tahun kemudian, Inggris kembali menghantam Belanda di Pulau Onrust. Armada Inggris menggempur habis dan memusnahkan semua bangunan Belanda. Penggempuran terakhir yang dipimpin oleh Admiral Edward Pellow ini menghancurkan sarana dan prasarana Pulau Onrust.
Tapi Belanda tak patah arang meski sudah dua kali digempur. Usai penghancuran terakhir, Belanda kembali membangun Pulau Onrust, bahkan lebih lengkap dengan membangun sebuah pelabuhan yang terbuat dari beton pada 1823. Dan ia menjadi pelabuhan yang punya peran cukup signifikan dalam perdagangan.
Tapi, Onrust tidak saja dibangun kembali, tetapi juga difungsikan sebagai pangkalan Angkatan Laut Hindia Belanda. Dan pada 1848, pulau ini menjadi pangkalan armada laut Kerajaan Belanda.
Namun, peran strategis Onrust mulai menyusut ketika Tanjung Priok dijadikan pelabuhan. Dan pada 1883, pangkalan angkatan laut ini pun hancur oleh gelombang tidal akibat letusan Gunung Krakatau.
Pagi hari di Benteng Mortello Pulau Bidadari.
Pada 1911, Belanda kembali membangun Pulau Onrust. Hanya saja, kini fungsinya beralih menjadi penjara dan pos karantina penyakit lepra, malaria, lepra, kusta, tuberculosis (TBC), dan penyakit-penyakit tropis lainnya. Ketika orang-orang yang menderita penyakit tersebut dipindahkan ke Onrust, hal tersebut bukan dimaksudkan untuk penyembuhan, melainkan hanya sekedar upaya isolasi agar tak menyebar. Sebab, pengalaman dan pengetahuan dokter-dokter Belanda masih sangat kurang mengenai penyakit khas tropis.
Selain itu, Onrust sempat pula difungsikan sebagai karantina haji yang dapat menampung 3.500 jamaah haji yang akan berangkat ke Tanah Suci, Mekah. Ketika pecah perang antara Jerman dan Belanda pada 1939, pulau ini pun pernah dipakai Belanda sebagai tempat pembuangan tawanan. Sejumlah tahanan politik dan yang dianggap kriminal dieksekusi mati oleh penguasa Belanda.
Pulau Onrust, konon, juga pernah menjadi persengketan antara Kerajaan Banten dengan Jayakarta. Sebelum Belanda memasuki dan menguasai pulau-pulau yang tersebar di kawasan Kepulauan Seribu, raja-raja Kesultanan Banten telah menggunakan pulau-pulau tersebut untuk dijadikan daerah peristirahatan keluarga raja. Artinya, Banten telah lebih dulu melakukan penguasaan efektif (effective occupation) terhadap Pulau Onrust.
Kesejukan Pulau Onrust memang masih dapat saya rasakan. Udara yang sejuk. Pepohonan yang merindang. Dan pantai yang bersih. Jadi bisa saja cerita Onrust sebagai tempat peristirahatan keluarga raja Banten benar adanya. Entahlah. Yang jelas, yang tersisa kini hanyalah reruntuhan sejarah. Keping-keping bangunan dari rumah sakit, gereja, sel penjara, tempat penggantungan narapidana, barak-barak perumahan, kuburan Belanda, sisa-sisa kincir angin, ruang bawah tanah, dermaga, dan sisa-sisa pondasi meriam seolah menjadi potongan-potongan kecil dari cerita besar.
Tak jauh dari Pulau Onrust, kita bisa menemukan Pulau Cipir atau Pulau Khayangan. Pulau yang memiliki luas sekitar 6 hektar ini berfungsi seperti “bayangan” Pulau Onrust. Jika ada barang yang tak muat ditampung atau jumlah pasien yang berlebih, maka Pulau Cipirlah yang akan menampungnya.
Pondasi Jembatan Ponton yang menghubungkan Pulau Onrust dan Pulau Khayangan.
Di pulau ini juga ada bangunan berdiameter kurang dari 4 meter yang menjadi tempat tawanan diadu hingga mati saat Jepang menjajah Indonesia. Semakin banyak tawanan yang tetap hidup, semakin banyak makanan yang harus disediakan. Karena itulah jumlah tawanan “dikurangi”.
Berbelok ke arah kiri bangunan gladiator ala Jepang tersebut, saya melihat kompleks makam Belanda. Salah satu makam yang terkenal adalah makam Maria Van Der Lende. Maria adalah putri penguasa Pulau Onrust yang juga istri seorang perwira VOC. Ia meninggal pada usia 28 tahun karena malaria. Kata masyarakat setempat, di antara pohon-pohon kering, Maria masih sering bermain ayunan dengan gaun merah.
Di ujung Pulau Khayangan, saya melihat ada beberapa pondasi Jembatan Ponton. Peninggalan bersejarah ini diperkirakan telah ada sejak 1911. Saat air laut surut, nampak susunan batu bata merah yang menjadi pondasi jembatan kecil ini. Dulunya, jembatan ini digunakan untuk menerima kedatangan para jemaah haji yang akan dikarantina.
Satu pulau bersejarah lainnya adalah Pulau Kelor. Tapi sayang, saya tak diperbolehkan menyinggahinya. Saat itu air laut sedang pasang, dan itu membuat kapal tak dapat bersandar dengan aman dikarenakan posisi pantai yang tak lagi landai.
Benteng Mortello di Pulau Kelor.
Dari penuturan pemandu, nama lain pulau ini adalah kerkhoff‘ (kuburan), dan yang lain menyebutnya berasal dari kata killer. Namanya memang cukup horor. Tapi sejarahnya memang demikian. Di sinilah Belanda kerap membuang mayat. Dan orang-orang di sekitar sini mengaku beberapa kali telah menemukan kerangka manusia.
Pulau kecil dengan luas tiga hektar ini menjadi pertahanan pertama Belanda sebelum membangun pertahanan di pulau lain. Benteng Mortello (lingkaran) yang ditemukan di pulau ini pun menjadi saksi bisu awal masuknya Belanda. Secara arsitektural, bentuk benteng semacam ini diperkenalkan sekitar empat abad lalu oleh Perancis. Fungsinya adalah menjadi menara pengawasan. Namun oleh Belanda ia juga difungsikan sebagai benteng pertahanan.
Bangunan Benteng Mortello yang masih berdiri di Pulau Kelor kini hanya menyisakan ruang bagian tengah. Dinding lingkar luarnya telah porak poranda akibat gelombang tidal dari letusan Gunung Krakatau. Pemandu menduga Benteng ini memiliki terowongan bawah tanah yang tersambung ke Stasiun Tanjung Priok dan juga ke Benteng Mortello yang terdapat di Pulau Bidadari.
Dan ketika menginjakhentakkan kaki di Benteng Mortello - yang juga ada di - Pulau Bidadari, dari bunyinya saya memang seperti merasakan adanya ruang kosong di bawah tanah. Menurut banyak pihak, ruang tengah banteng, yang kini berbentuk kolam, adalah terowongan menuju Benteng Mortello di Pulau Kelor dan benteng yang terdapat di Stasiun Tanjung Priok.
Saat ditemukan pertama kali, Benteng Mortello di Pulau Bidadari tidak memiliki pintu masuk. Untuk itu, pihak Pulau Bidadari Resort, sebagai salah satu pihak yang ikut merawat peninggalan bersejarah yang dibangun pada 1898 ini, berinisiatif membuatkan tangga khusus bagi para pengunjung yang ingin masuk dan melihat desain bangunan benteng pengintai ini dari dalam. Benteng yang terbuat dari bata merah dan berbentuk bulat dengan diameter mencapai 23 meter serta ketebalan dinding 2,5 meter ini memiliki jendela besar dan kecil pada dinding-dindingnya.
Benteng Mortello di Pulau Bidadari.
Saat ini benteng bundar tersebut dalam kondisi rusak parah. Dan disebutkan oleh pemandu, ia juga mengalami penjarahan oleh rakyat pada 1960-an.
Seperti Pulau Khayangan, Pulau Bidadari juga merupakan penunjang aktivitas Pulau Onrust. Namun, jika Khayangan lebih berfungsi sebagai penyimpanan barang, maka Bidadari berfungsi sebagai tempat orang-orang sakit. Pada 1679, VOC membangun sebuah rumah sakit khusus lepra atau kusta yang merupakan pindahan dari Angke. Hal ini membuatnya disebut sebagai Pulau Sakit. Pulau ini sempat kosong dan tidak berpenghuni sampai 1970. Pada masa kepemimpinan gubernur Ali Sadikin, pada awal 1970-an, PT. Seabreez mulai mengelola pulau ini untuk dijadikan sebagai resor wisata. Sejak itulah pulau ini pun berganti nama menjadi Pulau Bidadari.
source: http://wisataloka.com/kultur/historia-docet-di-kepulauan-seribu/