Sunday, April 18, 2010

Mafia Pajak Terbongkar di Surabaya

SURABAYA -  Dugaan ada kasus mafia pajak yang lebih besar akhirnya terbukti. Kali ini terjadi di Surabaya. Bahkan, uang negara diperkirakan lenyap ratusan miliar rupiah gara-gara sindikasi pemalsuan bukti setoran pajak.
      
Kasus ini dibongkar oleh Polwiltabes Surabaya, Minggu (18/4). Menurut Kapolwiltabes Surabaya Kombes Pol Ike Edwin, kasus tersebut pada intinya manipulasi data. Selain itu, terbukti adanya pemalsuan. " Itu jelas tindak pidana," katanya kemarin.
      
Polisi telah menangkap 10 tersangka yang diduga terlibat sindikat manipulasi pajak tersebut. Salah seorang di antaranya PNS Dirjen Pajak sendiri, yakni Suhertanto. Dia adalah konsultan pajak di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Karangpilang. Sebelumnya, dia adalah karyawan bagian kepegawaian di Kanwil Pajak Jatim, dan kemudian menjadi juru tagih di KPP Rungkut.
   
"Saat menjadi juru tagih di KPP Rungkut itulah, ada indikasi dia mulai "bermain-main"," ucap Kapolwiltabes Surabaya Kombes Pol Ike Edwin, yang tampak sumringah dengan keberhasilan mengungkap sindikat mafia pajak yang cukup besar tersebut.
   
Ike mengaku belum semua tersangka dalam sindikat tersebut tertangkap. "Setidaknya masih ada sekitar empat-lima nama lagi. Tapi, yang jelas otaknya sudah kami tangkap semua," urai orang nomor satu di jajaran kepolisian Surabaya tersebut.
   
Yang disebut Kapolwil sebagai otak adalah Siswanto, 35, Suhertanto, 33, Gatot Budi Sambodo, 42, dan Herlius Widya Sembara, 26. "Mereka-mereka ini aktor intelektualnya. Mereka telah melakukannya dalam lima tahun terakhir. Menipu  banyak perusahaan di Surabaya dan Sidoarjo," tandasnya.
      
Para tersangka lain adalah Fatchan, 45, Iwan Rosidi, 28, Mochamad Mutarozikin, 33, Moch Soni, 35, Enang Cahyo Untoro, 38, dan Totok Suratman, 35. Mereka berperan sebagai perantara. Saat ini, Satreskrim Polwiltabes Surabaya sedang mengembangkan kasus tersebut. "Kami masih menyelidiki. Tunggu saja hasilnya," ujar Ike Edwin.
      
Sindikat mafia pajak yang diungkap Polwiltabes Surabaya memang bukan main-main. Kerugian negara yang dibobol bisa mencapai ratusan miliar, dan total perusahaan yang ditipu sebagai wajib pajak jumlahnya bisa mencapai lebih dari 350 perusahaan.
      
Dia juga mengatakan, para tersangka sudah melancarkan aksinya sejak lima tahun lalu. Diduga ada 350 wajib pajak yang dirugikan. Sementara setiap wajib pajak diperkirakan rugi mencapai ratusan juta. Jika ditotal, kerugian akibat sindikat tersebut diprediksi Rp 300 miliar. "Jumlah pastinya, masih menunggu perkembangan hasil penyidikan," tegas Ike Edwin.
      
Pengungkapan kasus ini bermula dari laporan Agustri Junaidi, seorang konsultan pajak di kawasan Waru, Sidoarjo awal Maret lalu. Dia melapor ke polisi setelah kliennya, David Sentono, bos PT Putra Mapan Sentosa, mengeluh bahwa SSP yang dimilikinya bermasalah. Setelah dicek, Agustri curiga bahwa jangan-jangan validasi banknya bermasalah.
   
Dari penyelidikannya sendiri, Agustri yakin memang ada yang bermasalah. Kecurigaannya kemudian beralih ke karyawannya. Yakni Fatchan dan Iwan Rosidi. "Karena memang sebagai konsultan pajak, Agustri tak mengurusi teknis pembayaran dan pengurusan SSP di KPP Wonocolo (tempat David Sentono membayar pajaknya, Red)," kata Kasatreskrim Polwiltabes Surabaya AKBP Anom Wibowo.
   
Mendapat laporan tersebut, polisi langsung bergerak cepat. Fatchan dan Iwan langsung dibekuk. Kepada polisi, awalnya mereka berusaha mengelak dengan mengatakan tidak tahu, tidak tahu. Namun, ketika ditunjukkan bukti-bukti validasi fiktif tersebut, keduanya tak bisa mengelak. Keduanya mengaku menguruskan soal validasi bank dan SSP ke seseorang bernama Mutarozikin.
   
Tanpa banyak kesulitan, Mutarozikin berhasil dibekuk pada hari itu juga. Mutarozikin kemudian menyebut nama Gatot Budi Sambodo, yang juga langsung ditangkap. "Setelah itu kami menyusun strategi dulu. Sebab, dari Fatchan hingga Gatot, ternyata semuanya masih breupa kurir pula. Mereka hanya mendapatkan persentase antara 5 persen-20 persen saja dari total nilai SSP," ucap mantan Kasatpidum Ditreskrim Polda Jatim tersebut.
   
Anom mengatakan, pihaknya tak segera melakukan penangkapan karena ingin mendalami seluk beluk sindikat tersebtu dari keterangan empat orang yang telah ditangkap. Setelah dirasa cukup kuat dan yakin, polisi kembali bergerak tiga hari kemudian.
   
Hasilnya, empat orang lagi ditangkap. Yakni, Herlius Widya Sembara, Totok Suratman, Moch. Soni, dan Siswanto. Nama terakhir inilah yang menjadi asal dari mana validasi bank palsu tersebut berasal. "Cara buatnya sederhana. Validasi yang asli di-scan, kemudian membuatnya kembali melalui photoshop," kata Anom.
   
Gelombang penangkapan sempat terhenti di Siswanto. Karena awalnya, Siswanto tak mau menyebut nama lain lagi. Namun, setelah bukti demi bukti diperoleh petunjuk yang mengarah ke keterlibatan orang dalam pajak, akhirnya Siswanto bersedia ngomong.
   
Dia bekerja sama dengan orang dalam Pajak bernama Suhertanto. Namun, polisi tak bisa langsung menangkap Suhertanto, melainkan harus menangkap salah satu dari dua nama ini. Yakni Enang Cahyo Untoro dan Bambang Ari, seorang konsultan pajak juga. Celakanya, Bambang sudah menghilang, masih buron.
   
Untuk sementara, pengembangan yang dilakukan polisi pun mentok. Namun, polisi tak menyerah dan terus memburu dua orang ini. Yang ada titik terang adalah keberadaan Enang. "Hasil penyelidikan mengarahkan kami ke Nganjuk. Ada informasi yang menyebutkan Enang melenyapkan diri di Nganjuk," papar Anom.
   
Tanpa pikir panjang, petugas langsung mengubek-ubek Nganjuk dan berhasil menangkap Enang. Dengan penangkapan Enang, maka mata rantai yang menghubungkan Siswanto ke Suhertanto pun ada. Suhertanto sendiri ditangkap tanpa banyak perlawanan.
   
Namun, Suhertanto tak terlalu kooperatif dalam pemeriksaan. Saat ditangkap, Suhertanto tak banyak buka keterangan. Dia hanya mengatakan tidak tahu-tidak tahu. Bukan itu saja, Suhertanto juga berusaha melenyapkan barang bukti. "Kami sempat menggeledah rumahnya, namun tak menemukan barang bukti apa pun," papar Anom. Belakangan diketahui, Suhertanto menyembunyikan barang bukti di rumah temannya.
      
Bendelan barang bukti inilah yang membelalakkan mata polisi. "Dari jumlah perusahaan maupun modus yang dilakukan. Yang jelas, penyidikan tidak akan berhenti sampai di sini saja," tandas Anom. Dia juga menyatakan bahwa sejumlah pertanyaan mengenai kasus ini juga masih diselidikinya.
      
Seperti pertanyaan paling utama, kenapa KPP bisa dengan begitu mudah menerbitkan ratusan SSP dengan validasi bank palsu selama lima tahun terakhir" "Masih kami kembangkan kasus ini guna mengungkap jaringan atau modus yang lebih besar lagi," tandasnya.
      
Hingga kemarin polisi terus mengusut pihak-pihak lain yang terkait dengan kasus tersebut. Bahkan, aparat menduga ada orang dalam instansi perpajakan yang terbukti terlibat dalam kasus tersebut. "Tidak menutup kemungkinan bakal muncul orang-orang baru," kata AKBP Anom.
    
Sebenarnya, modus yang diterapkan sindikat ini relatif sederhana. Uang pembayaran dari wajib pajak, oleh mereka tidak disetorkan. Melalui Fatchan dan Iwan, uang itu diserahkan kepada Moch Mutarozikin.
    
Di tempat Moch Mutarozikin, tersangka Iwan dan Fatchan mendapat diskon 10 persen. Lalu, Moch Mutarozikin menyerahkan kepada Gatot Budi Sambodo. Mutarozikin juga mendapat diskon dari Gatot 20 persen. Proses itu terus belanjut di lingkungan sindikat tersebut. Hingga muncul validasi palsu tersebut.
    
Validasi palsu itu, kemudian diserahkan PT Putra Mapan Sentosa, selaku wajib pajak yang melaporkan kasus tersebut. Dari hasil penyidikan, ada 34 validasi palsu yang dimiliki perusahaan tersebut. "Jika dihitung, total nilai mencapai Rp 900 juta lebih," ujar AKBP Anom.
    
Jika melihat latar belakang 10 tersangka, tiga orang di antaranya dekat dengan instansi pajak. Yakni Siswanto (pembuat validasi palsu), dan Enang Cahyo Untoro. Keduanya bekas pembersih ruangan (cleaning sevice) di kantor Direkorat Jendral Pajak 1 Jatim.
    
Lalu Suhertanto, PNS kantor Ditjen Pajak. Menurut Informasi sumber koran ini, pria berusia 33 tahun ini menjabat sebagai kepala seksi penagihan di instansi tersebut. Ada beberapa barang bukti yang disita polisi. Di antaranya komputer dan printer.
    
Kemudian, dari tangan Siswanto disita stempel palsu Bank Jatim, Dirjen Pajak, stempel palsu tanda terima pemegang kas, dan stempel palsu kantor pelayanan PBB. Sebelas tersangka itu dijerat pasal 372 KUHP tentang penggelapan dan atau pemalsuan."Ancaman hukumannya  enam tahun penjara," ujar AKBP Anom Wibowo.

Bukan Markus Pajak
    
Dikonfirmasi terpisah, Kepala Kantor Ditjen Pajak I Jatim Ken Dwijugiasteadi berdalih kasus itu bukan markus pajak. Menurut dia, kasus itu murni penipuan dan perbankan yang dilakukan sindikat penjahat. Semuanya dilakukan di luar kerja sama antara oknum perbankan. "Jadi tidak ada sangkut pautnya dengan instansi perpajakan," katanya.
    
Bagi pembayar pajak yang melalui sindikat itu, NTPN yang diterima palsu. Bahkan, tak jarang tidak diberi NTPN dari sindikat itu. Selain itu, pembayaran pajak dengan adanya diskon. Wajib pajak akan mengetahui sebagai korban ketika kantor Ditjen Pajak menagih kewajiban mereka.
    
Beda halnya jika wajib pajak membayar sendiri ke bank. Wajib Pajak akan menerima NTPN 16 digit dan SSP. "Meski tidak dilaporkan, Ditjen Pajak sudah mengetahui yang bersangkutan sudah membayar kewajibannya," ujarnya.

source: http://www.jpnn.com

No comments:

Post a Comment