Tuesday, March 9, 2010

Beban Berat Akibat Gangguan Jiwa

Beban yang ditimbulkan oleh gangguan jiwa sangat besar. Hasil studi Bank Dunia menunjukkan, global burden of disease akibat masalah kesehatan jiwa mencapai 8,1 persen, jauh lebih tinggi dari tuberklosis (7,2 persen), kanker (5,8 persen), penyakit jantung (4,4 persen), atau malaria (2,6 persen).

Hal ini mengemuka dalam jumpa pers Hari Kesehatan Jiwa Sedunia 2001, serta peluncuran Laporan Kesehatan Sedunia 2001 dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Rabu (10/10), di Jakarta.

Menurut Dr Vijay Chandra, Health and Behaviour Advisor dari WHO Wilayah Asia Tenggara (WHO-SEARO), sangat besarnya beban akibat gangguan jiwa itulah yang mendorong WHO memberi perhatian dan menjadikan masalah kesehatan jiwa sebagai tema Hari Kesehatan Sedunia tahun 2001 yang diperingati 7 April lalu, serta menjadi fokus laporan tahun ini.

“Meski bukan penyebab utama kematian, gangguan jiwa merupakan penyebab utama disabilitas pada kelompok usia paling produktif, yakni antara 15-44 tahun. Dampak sosialnya sangat serius berupa penolakan, pengucilan, dan diskriminasi. Begitu pula dampak ekonomi berupa hilangnya hari produktif untuk mencari nafkah bagi penderita maupun keluarga yang harus merawat, serta tingginya biaya perawatan yang harus ditanggung keluarga maupun masyarakat,” ujar Chandra.

Laporan yang berjudul “Kesehatan Mental: Pemahaman Baru, Harapan Baru” antara lain memaparkan pendekatan kesehatan masyarakat dalam penanganan kesehatan mental, kemajuan pemahaman mengenai faktor penyebab gangguan jiwa, beban yang ditimbulkan oleh gangguan mental, dan perilaku beserta dampak ekonomi maupun kualitas hidup.

Saat ini ada perubahan paradigma penanganan gangguan jiwa, dari perawatan di rumah sakit jiwa menjadi perawatan berbasis masyarakat. Dalam penanganan gangguan jiwa, obat bukan segala-galanya, namun diperlukan pula konseling.psikoterapi serta rehabiliasi. Pelbagai riset menunjukkan bahwa faktor penyebab gangguan jiwa sangat kompleks, meliputi faktor fisik, psikologis, dan sosial.

Bagi Indonesia, hal ini perlu dipikirkan mengingat pengobatan gangguan jiwa sering harus seumur hidup, serta menggunakan obat yang relatif mahal. Di pihak lain, tidak ada asuransi yang menanggung biayanya.

Dalam laporan diuraikan pula upaya pemecahan masalah, serta 10 rekomendasi kebijakan kesehatan mental. Laporan dilengkapi data statistik mengenai angka kematian, beban penyakit dalam bentuk hilangnya hari produktif, angka harapan hidup sehat, serta pelbagai tabel prevalensi penyakit dan efektivitas penanganan.

Belum memuaskan

Direktur Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan Prof Dr dr Azrul Azwar MPH mengakui, pencapaian penanganan masalah kesehatan jiwa masyarakat belum memuaskan. Hal itu karena keterbatasan anggaran pemerintah, minimnya sarana pelayanan serta sumber daya manusia, baik psikiater maupun perawat kesehatan jiwa.

Selain itu, pemahaman masyarakat mengenai masalah kesehatan jiwa masih rendah. Masih ada stigma terhadap gangguan jiwa, serta adanya rasa malu untuk mencari pertolongan. Masyarakat mengidentifikasikan gangguan jiwa hanya dengan psikotik atau gila. Banyak yang belum tahu bahwa kecemasan dan depresi termasuk gangguan mental dan perlu perawatan.

Saat ini diperkirakan ada 450 juta penderita gangguan jiwa di seluruh dunia. Di Indonesia, berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga 1995 didapatkan prevalensi gangguan jiwa 264 per 1.000 anggota rumah tangga. Rinciannya, psikosis tiga per 1.000, demensia (pikun) empat per 1.000, retardasi mental lima per 1.000, gangguan mental emosional pada anak dan remaja (4-15 tahun) 104 per 1.000, gangguan mental emosional pada dewasa (di atas15 tahun) 140 per 1.000, dan gangguan jiwa lain lima per 1.000.

Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia yang juga Direktur Rumah Sakit Jiwa Lawang, Jawa Timur, dr Pandu Setiawan SpKJ mengungkapkan, saat ini hanya ada 430 dokter spesialis kedokteran jiwa/psikiater untuk lebih dari 200 juta penduduk, atau satu psikiater untuk 500.000 penduduk. Jumlah ini sangat kurang, dan penyebarannya tidak merata karena menumpuk di Jawa. Di sisi lain, kemampuan institusi pendidikan dokter jiwa untuk mencetak dokter baru menurun akibat pensiunnya tenaga pengajar serta kebijakan zero growth pegawai negeri.

Menyikapi kondisi ini, Kepala Perwakilan WHO Indonesia Dr Georg Petersen menyatakan, WHO akan mendukung sepenuhnya upaya pemerintah, dalam hal ini Departemen Kesehatan, untuk meningkatkan kesehatan mental masyarakat. Salah satunya adalah membantu menyusun Kebijakan Nasional Pembangunan Kesehatan Jiwa 2001-2005.

No comments:

Post a Comment